Oleh: VARIZ ABU NAOM IX IPS
Aku masih ingat, hari pertama masuk kelas XI IPA 2. Duduk di bangku paling pojok, dekat jendela—posisi favoritku. Bukan karena bisa lihat pemandangan, tapi karena bisa menyembunyikan rasa gugup di balik teralis cahaya matahari pagi.
Saat aku sedang menikmati suasana kelas yang belum terlalu ramai, seseorang duduk di sebelahku.
"Permisi, ini bangkunya kosong kan?"
Aku menoleh. Cowok berambut agak ikal, pakai earphone satu telinga, dan menggenggam novel tebal.
"Iya, duduk aja."
Namanya Kozen nama Aslinya Robi Nugraha. Kami sama-sama pendiam di awal. Setiap pagi, dia selalu datang dengan ekspresi datar dan novel yang berbeda. Dia suka diam, tapi sesekali membisikkan komentar sarkastik saat guru menjelaskan, dan itu... membuatku ketawa dalam hati.
Hari demi hari, aku mulai sadar, Kozen bukan tipe orang yang gampang akrab. Tapi dia perhatian dengan caranya sendiri.
Waktu aku sakit perut dan izin ke UKS, dia yang menyampaikan ke guru. Waktu aku nggak ngerti pelajaran Fisika, dia diam-diam mencoretkan rumus lengkap di buku catatanku. Dan saat aku kena omelan wali kelas karena telat, dia duduk nungguin di depan ruang BK sambil main game seolah-olah nggak terjadi apa-apa.
Ada satu momen yang paling aku ingat. Saat ulangan Matematika yang terkenal "membunuh", aku panik karena lupa bawa penggaris. Kozen hanya melirik, kemudian mematahkan penggarisnya jadi dua. "Kita bagi dua ya," katanya tanpa ekspresi. Aneh, tapi... aku senyum.
Seiring waktu, bangku kami jadi saksi cerita kecil. Cerita dua anak remaja yang tak banyak bicara, tapi saling mengisi. Di tengah tekanan tugas, drama kelas, dan stres ujian akhir, kami saling mendukung tanpa banyak kata.
Tapi waktu selalu punya cara untuk memisahkan.
Semester akhir, aku diumumkan pindah sekolah karena orang tua harus pindah kerja ke luar kota. Aku menatap bangku kami di hari terakhir—kosong, karena Kozen izin sakit.
Aku hanya meninggalkan satu catatan kecil di laci:
"Terima kasih sudah jadi teman sebangku terbaik. Jangan ubah tempat dudukmu, ya. Bangku ini milik kita berdua."
Beberapa minggu kemudian, aku menerima DM dari akun Instagram yang jarang aktif:
"Bangkunya tetap kosong. Gue nggak izinin siapa pun duduk di situ."
Aku senyum.
Mungkin, di dunia yang penuh perpisahan ini, ada hal-hal kecil yang tetap tinggal.
Seperti bangku pojok itu.
Dan seperti kenangan tentang teman sebangku selamanya.
Nanti dilanjut lagi ya ...